Aspirasi dari hati yang terkecil

Kamis, 21 Mei 2020

PERNIKAHAN ITU BUKANLAH RENTENISASI


Oleh : Wendi Maulana Akhirudin

Tak akan pernah ada keluarga sebelum berumah tangga dan tak akan ada rumah tangga sebelum menikah. Maka, menikah menjadi niscaya agar keluarga meraih keberkahan dalam bingkai kesucian niat beribadah kepada Allah SWT semata.
Menikah, adalah kata yang mengakhiri masa lajang seseorang. Kata ini pula menjadi penanda akkhir dari semua hal yang sifatnya kesendirian. Ruang kesendirian itu telah terisi oleh sebuah nama, pasangan kita, suami atau istri kelak. Saat itulah sepasang insan mengikat janji atas Allah SWT untuk membina rumah tangga. Genaplah sudah separuh agamanya atau din!
Selanjutnya, hari-hari yang bergulir di depan adalah lembaran kosong yang mencatat kerja besar sepasang suami istri. Kerja besar yang dirancang dalam rangka menanam kebajikan amal sholeh. Tak penting kisah yang dicatat bertabur bunga atau malah peluh derita. Asalkan semuanya bermuara hikmah penambah keimanan, maka kebahagian seperti rumah tangga Rasulullah SAW pun dapat kita raih.

Pernikahan atau sebuah keluarga haruslah bercahaya. Dengan jalan terarah. Tidak meraba-raba. Penuh kemantapan menatap penghujung jalannya. Mampu membedakan antara ‘kayu’ dan ‘ular’. Cahaya itu bisa padam. Jangankan menghasilkan generasi istimewa,penegak khilafah atau pembuka roma. Berdiri kokoh saja, menembuskan pandangan melihat beberapa hasta kedepan saja, sangat sulit. Tidak ada kejrlasan semua serba kira-kira terasa sesak didada.

.............
.....................

Sebuah pernikahan itu tidaklah penting ketika salah satunya melakukan hitung-hitungan dalam arti si suami  yang telah memberikan kewajibannya (nafkah) kepada si istri tapi kemudian di ungkit-ungkit di ibaratkan sebagai hutang begitupun sebaliknya, artinya tidak saling merasa telah memberikan kontribusi lebih banyak di rumah tangga. ini sudah tidak sejalan atau sebuah paradoks (kontradiksi) dari apa yang diajarkan oleh Rosulullah SAW. Karena pernikahan itu sejatinya bukanlah sesaat hanya sebatas kertas putih yang dibubuhi tinta hitam atau istilahnya pernikahan sewaan.
Ketika terjadi kontadiktif ini terjadi semakin kencang ketidakpastian pernikahan atau berumah tangga yang terjadi adalah akan ada tindakan ‘makar’ ketidakada keutuhan dalam, maka dari itu beberapa pernikahan banyak terputus (bercerai) karena ketidakharmonisan dalam berumah tangga, ‘musuh’ inilah yang akan kegirangan karena ‘makar’ ini telah berhasil...pernahkah mendengar kisah Nabi Adam dan Hawa ketika itu hawa dihasut oleh iblis yang sengaja berbuat ‘makar’terhadap keduanya hingga begitu cepatnya turun kedunia dan Nabi Adam terpisah dengan Hawa.


Pernikahan sejatinya sepasang suami dan istri ingin kembali dipertemukan di akherat nantinya. Bayangkan, ayah dan bunda sedang bercengkerama dengan anak-anaknya. Kemudian kalimat seperti ini mengalir,
nak, kesenangan ini nanti akan kita lanjutkan disurga Allah”
“Nak, ingin gak sih bertemu ayah dan bunda lagi nanti di Surga”[1]
Dialog pembuka yang cukup dashyat, sehingga setiap anggota kelluarga paham untuk memelihara niat menjalankan semua aktifitasnya. Mereka menjadi gemar menjalankan ibadah dan berusaha menjalankannya dengan sebaik mungkin agar diterima Allah SWT.



[1] Dari buku budi Ahari, Lc; Parenting Nabawiyyah inspirasi dari rumah cahaya, hal-16