Oleh : Wendi Maulana Akhirudin
Tak akan pernah ada keluarga
sebelum berumah tangga dan tak akan ada rumah tangga sebelum menikah. Maka,
menikah menjadi niscaya agar keluarga meraih keberkahan dalam bingkai kesucian niat
beribadah kepada Allah SWT semata.
Menikah, adalah kata yang
mengakhiri masa lajang seseorang. Kata ini pula menjadi penanda akkhir dari
semua hal yang sifatnya kesendirian. Ruang kesendirian itu telah terisi oleh
sebuah nama, pasangan kita, suami atau istri kelak. Saat itulah sepasang insan
mengikat janji atas Allah SWT untuk membina rumah tangga. Genaplah sudah
separuh agamanya atau din!
Selanjutnya, hari-hari yang
bergulir di depan adalah lembaran kosong yang mencatat kerja besar sepasang
suami istri. Kerja besar yang dirancang dalam rangka menanam kebajikan amal
sholeh. Tak penting kisah yang dicatat bertabur bunga atau malah peluh derita.
Asalkan semuanya bermuara hikmah penambah keimanan, maka kebahagian seperti
rumah tangga Rasulullah SAW pun dapat kita raih.
Pernikahan atau sebuah keluarga
haruslah bercahaya. Dengan jalan terarah. Tidak meraba-raba. Penuh kemantapan
menatap penghujung jalannya. Mampu membedakan antara ‘kayu’ dan ‘ular’. Cahaya
itu bisa padam. Jangankan menghasilkan generasi istimewa,penegak khilafah atau
pembuka roma. Berdiri kokoh saja, menembuskan pandangan melihat beberapa hasta
kedepan saja, sangat sulit. Tidak ada kejrlasan semua serba kira-kira terasa
sesak didada.
.............
.....................
Sebuah pernikahan itu tidaklah
penting ketika salah satunya melakukan hitung-hitungan dalam arti si suami yang telah memberikan kewajibannya (nafkah)
kepada si istri tapi kemudian di ungkit-ungkit di ibaratkan sebagai hutang begitupun
sebaliknya, artinya tidak saling merasa telah memberikan kontribusi lebih
banyak di rumah tangga. ini sudah tidak sejalan atau sebuah paradoks
(kontradiksi) dari apa yang diajarkan oleh Rosulullah SAW. Karena pernikahan
itu sejatinya bukanlah sesaat hanya sebatas kertas putih yang dibubuhi tinta
hitam atau istilahnya pernikahan sewaan.
Ketika terjadi
kontadiktif ini terjadi semakin kencang ketidakpastian pernikahan atau berumah
tangga yang terjadi adalah akan ada tindakan ‘makar’ ketidakada keutuhan dalam,
maka dari itu beberapa pernikahan banyak terputus (bercerai) karena
ketidakharmonisan dalam berumah tangga, ‘musuh’ inilah yang akan kegirangan
karena ‘makar’ ini telah berhasil...pernahkah mendengar kisah Nabi Adam dan
Hawa ketika itu hawa dihasut oleh iblis yang sengaja berbuat ‘makar’terhadap
keduanya hingga begitu cepatnya turun kedunia dan Nabi Adam terpisah dengan
Hawa.
Pernikahan sejatinya sepasang
suami dan istri ingin kembali dipertemukan di akherat nantinya. Bayangkan, ayah
dan bunda sedang bercengkerama dengan anak-anaknya. Kemudian kalimat seperti
ini mengalir,
“nak, kesenangan ini nanti akan kita lanjutkan disurga Allah”
“Nak,
ingin gak sih bertemu ayah dan bunda lagi nanti di Surga”[1]
Dialog pembuka yang cukup
dashyat, sehingga setiap anggota kelluarga paham untuk memelihara niat
menjalankan semua aktifitasnya. Mereka menjadi gemar menjalankan ibadah dan
berusaha menjalankannya dengan sebaik mungkin agar diterima Allah SWT.