Oleh : Wendi Maulana Akhirudin
Hidup kita ada pada
realitas yang ada hari ini, karena terdapat sebuah teka-teki, pertanyaan yang
menuntun kejalanan yang dinamakan kebenaran. Untuk mencapai kesana diperlukan
perjalanan atau sebuah kegiatan mencari bukti, tanda-tanda (sign), serta
melihat logika, relasi dan kausalitas di antara semuanya, sehingga sampai pada
sebuah kesimpulan akhir (inference).
Lalu hari ini pun
aku berpikir bahwa kehidupan yang ada ini sepertinya berulang-ulang, karena
kebudayaan yang ada masa sekarang, sependek pengetahuanku itu adalah
kegiatan yang ada sejak dahulu, maksudnya kegiatan yang sekarang itu ada pada
masa lalu. Dan aku terus berpikir apakah hari ini dan esok akan terus mengulang
masa lalu? karena yang terlintas dalam benakku, Hidup baik harus dikejar sampai
pada tingkat yang sangat kodrati. Inilah yang tersirat dari semboyan Sokrates,
“hidup yang tak terperiksa tak layak dijalani” Hidup yang dipandu oleh
moralitas orang kebanyakan adalah hidup yang semena-mena. dalam hal ini ketika
aku terus berpikir, aku teringat akan sebuah teori yang pernah dikeluarkan oleh
Einstein tentang rumusan, yang menjelaskan sebuah teori masa depannya, sebagai
scenario masa depan tersebut, yaitu berupa sebuah rekaan dunia yang dilewati
oleh sebuah jaringan ide yang dikotomikan secara global bahkan kini sudah
menjadi realitas keseharian yang banal dalam bentuk apa yang dia kenal sekarang ini, karena
hari ini pun ada pada pendaurulangan kebudayaan (recyled Culture). dan Einstain ini ingin dalam teorinya membuat
sebuah mesin waktu atau apapun namanya yang dapat menembus dari masa sekarang
ke masa lalu dan masa depan, dan selintas terpikir olehku bahwa hari ini
sepertinya terbukti tentang keberadaan teori tersebut, walaupun yang aku lihat
itu dalam bentuk-bentuk baru dan patafisik,
dan hal ini mungkin telah terpikir oleh orang lain. Dari kembalinya masa lalu
tersebut adalah kebudayaan yang terus berulang dengan bentuk baru, dulu
biasanya kita mendengar istilah baju ini model tahun 70-an, mobilnya model
sixties, atau orang itu pikirannya gaya kolonia, karena yang aku ketahui dalam
segi pakaian model sekarang yang dikatakan modern itu ada sejak dulu yang
pernah ada pada masa lalu atau mode yang di ambil dari masa sebelumnya, dari
barang yang bisa meningkatkan kepercayaan diri dan memuaskan hasrat yang
sifatnya temporer, dan mudah hilang dalam sekejap. Karena menurutku modernitas
itu telah melahirkan pemahaman tentang dimensi ideologis realitas. Keyakinan
baru muncul. Nalar tidak lagi diyakini mampu membawa kita pada realitas sejati.
Realitas telah diputarbalikkan oleh kesadaran sosial yang semu. Paling tidak
itu yang dijelaskan panjang lebar oleh Marx dalam Kitab-Kitab Suci utamanya.
Dan dulu pun ada
juga kisah tentang pembunuhan tentang anak kecil atau bayi laki-laki atau
perempuan pada jaman Nabi dulu. Dan hari ini aku lihat pembunuhan itu terjadi
kembali dalam bentuk baru, untuk membunuh yang generasi baru. dalam bentuk ini
sepertinya aku lihat sebuah “tanda-tanda” yang telah mengkaburkan sebuah
realitas, meskipun aku tahu dan melihat satu kebenaran yang dapat mengungkap
itu semua, walaupun itu hanya setengahnya dari setengahnya seperdelapan satu
itu sendiri, tapi kebenaran itu sendiri telah dikaburkan realitas, dan realitas
itu sendiri dikaburkan oleh “tanda-tanda” lain yang mengkaburkan antara
kebenaran dan kejahatan. dan itulah yang terjadi hari ini tentang pembunuhan
terhadap anak laki-laki dan perempuan hari ini, otak-otak mereka, bahkan otakku
sendiri pun sepertinya telah dibunuh oleh realitas yang telah dikaburkan.
Apakah kalau aku terlalu berharap pada nalar. Realitas yang rasional belum
tentu mencerminkan rasionalitas manusia?.
Mereka sebagai
diktetif filusuf pernah mengajak untuk selalu curiga pada pernyataan nalar
modern, Mark, Niezsche dan freud. Kewaspadaan oleh mereka digeser dari realitas
manusia itu sendiri. tapi apakah setiap penghukuman selalu dilacak dari sesuatu
yang muncul dalam sejarah?.
Aku pu n mulai berpikir lagi dan
mempertanyakan beberapa hal, haruskah aku mempermasalahkan ini? dan pada apa
aku harus mempermasalahkan ini ? Manusiakah atau pada-Mu Tuhan. Tapi yang
terlintas saat ini aku takut untuk menyalahkan-Mu Tuhan, karena kau adalah satu
kebenaran hakiki yang telah mendominasi umat. Dan aku tahu, aku bukanlah
diri-Mu yang serba tahu. Tapi ketika yang aku lihat mereka(manusia) telah
mengkaburkan realitas hidup ini. Tapi ketika aku harus menyalahkan mereka, pada
siapa aku harus menyalahkan, semuakah, atau diriku sendiri ?
Karena ada hal-hal yang
disempurnakan di dalam perjalanan abad, dari khotbah-khotbah
para Rosul sampai tafsiran
paus, tidak ada kemajuan, tidak ada revolusi dalam
sejarah pengetahuan,
kecuali ikhtiar pengetahuan abadi yang berkelanjutan.
sehingga kekaburan sebuah
Realitas hidup yang dibarengi dengan petunjuk,
bukti dan tanda-tanda yang
tidak jelas meruntuhkan nilai-nilai makna kebenaran
dan keyakinan. karena
ketika Firman-firman Tuhan telah muncul, kita
menyaksikanya bersama
kehendak buruk kejahatan.
karena ketika ajaran suci
harus dilindungi dengan kekerasan,
sampai suatu saat kesucian
itu melebur menjadi kejahatan
Aku tidak tahu
harus menyalahkan siapa, tapi hari ini aku takut terjebak kedalam dunia makna
yang dikategorikan ke dalam “Kematian Sosial” karena aku pun terjebak dalam
realitas ini, karena aku tak tahu harus menyalahkan pada siapa, atau mungkin
pada-Mu lagi Tuhan, karena kau tidak peduli dengan keadaan seperti ini. Aku pun
tahu diri-Mu dapat melakukan sesuatu yang dapat semua Manusia ini bisa jadikan
sekumpulan debu, yang bisa terlempar oleh satu tiupan angin, tapi aku tahu kau
masih memberikan sebuah kesempatan manusia untuk berpikir, karena didunia ini
terdapat “tanda-tanda” kekuasaan-Mu bagi orang-orang yang berpikir. dan karena
diri-Mu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tapi yang terjadi saat ini
yang disebut realitas, saat ini telah hilang karena dikaburkan oleh sesuatu.
antara benar dan salah, fisik dan metafisik, fakta dan fiksi, ada dan tiada,
karena sepertinya aku merasa bukan manusia lagi. Lalu siapa yang seharusnya
mempertanyakan tentang ini? aku, mereka, atau kitakah?
Karena
pada saat ini antara fisik maupun metafisik itu menjadi semua tak ada bedanya
dipandang terbalik layaknya bayangan yang dikejar di gelapnya ruangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar